Klik Dapet Duit

Menipisnya Etika dan Moralitas Politik

Diposting oleh Firdaus Muhammad / Category: , ,

Firdaus Muhammad

Koordinator Afkar Circle, Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan, Lampung

Kompetisi antarelite politik belakangan ditengarai cenderung mengabaikan etika dan estetika politik sehingga bermuara pada menipisnya moralitas dan norma kesantunan, yang kemudian melahirkan kegamangan, kebingungan hingga apatisme politik. Pesan-pesan iklan politik di media massa, misalnya, saling menuding antarpartai dengan menjatuhkan citra partai lain dan mengklaim diri sebagai partai terbaik.

Ihwal iklan Partai Demokrat dan Partai Golkar sering menjadi jawaban iklan politik PDI-P atau sebaliknya, sebagai salah satu buktinya. Iklan PKS oleh sebagian pihak dilihat mengadu domba antarpartai, meski niatya justru hendak rekonsiliasi politik antarelite.

Perilaku elite politik tersebut dikhawatirkan bukan hanya perseteruan antarpartai dan elite politik an sich, melainkan merembes ke grass root. Selain perseteruan iklan di media massa, juga perusakan sejumlah atribut partai dan gambar calon legislatif, juga menjadi indikasi menipisnya kesantunan politik.

Mengurai sejumlah problem di tengah realitas politik itu meniscayakan logika yang dapat menjernihkan sejumput persoalan bangsa pada tahun politik 2009 ini. Salah satunya dengan mengembalikan norma kesantunan, etika, estetika, dan moralitas politik yang sejatinya diawali dari elite politik sehingga tercipta kedamaian publik.

Kedamaian itu diharapkan menapasi ruh demokrasi sebagai penentu nasib negeri ke depan. Optimisme lahirnya pemimpin dan kepemimpinan nasional kemudian dihadapkan pada kedewasaan berpolitik di kalangan elite.

Sebab itu, kedewasaan politik menjadi keharusan dalam menghadapi realitas politik yang diwarnai kompetisi di tengah konstelasi politik, terutama dengan munculnya fenomena saling mencaci antarelite bahkan perseteruan yang melibatkan personal elite tertentu. Ihwal ketangguhan pasangan SBY-JK dipersoalkan hingga merembes ke pada kedua partai yang mengusung kedua tokoh nasional tersebut, Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Mempertebal Moralitas Politik

Kegamangan di tengah hiruk-pikuk kampanye dan konstelasi politik yang dinilai tidak jelas arah, enigmatik ini, meniscayakan kesantunan berpolitik dalam bingkai etika (fatsun) politik. Etika politik menjadi penting diusung dalam kampanye Pemilu 2009 setelah ditengarai banyaknya "penumpang politik" yang tidak memiliki kendaraan politik yang jelas sehingga mereka muncul sebagai makelar-makelar politik yang nantinya memuncahkan kegamangan baru.

Kegamangan politik yang enigmatik dalam kampanye makin jelas. Perseteruan elite politik inipun melahirkan kegamangan, betapa komunikasi elite politik tiba-tiba tersumbat. Jika tidak diminimalisasi para elite politik sendiri, tidak menutup kemungkinan akan merambah ke konflik arus bawah dan mencederai demokrasi yang sementara kita bangun.

Kemampuan elite politik (parpol) mengelola konflik menjadi suatu keharusan sehingga pesta demokrasi yang menjadi hajatan nasional ini tidak memakan ongkos yang terlalu mahal. Pemilu secara damai adalah alternatif untuk menyelamatkan demokrasi melalui proses-proses yang normal.

Kampanye merupakan awal proses mencari pemimpin yang berbobot, memiliki integritas dan komitmen moral. Dalam konteks inilah, etika politik perlu menjadi kesadaran kolektif sebagai bagian tanggung jawab menyelamatkan bangsa dengan meracik kedamaian dan kebersamaan dengan mempertebal etika dan moralitas politik.

Kesuksesan pemilu ditentukan pada kualitas kampanye yang mencerminkan tingkat kesadaran elite politik dan juga rasionalitas rakyat dalam menentukan pilihannya sesuai dengan nurani. Menciptakan pemilu yang damai yang diawali dengan mewujudkan kampanye yang damai pula merupakan rangkaian tanggung jawab moral.

Ingar-bingar dan hiruk-pikuk pesta demokrasi ini yang condong meradang, jika tidak disemai dengan moralitas, niscaya melahirkan konflik. Komitmen moral sebagai bentuk artikulasi komitmen dan integritas kebangsaan para elite politik ini menjadi satu-satunya harapan guna membangun masa depan bangsa yang kian terpuruk, baik dalam hal perekonomian maupun pada moralitas yang dekaden dapat diatasi secara bertahap.

Untuk menyelamatkan demokrasi, tentu jika merujuk pada kaidah demokrasi itu sendiri, dalam sebuah pertarungan (politik) harus ada yang jadi pemenang dan sebaliknya juga ada yang tereliminasi. Persoalan umumnya muncul ketika pemenang larut dalam euforia, sedangkan yang kalah tidak menerima kekalahannya sehingga tidak jarang terjadi konflik atau peseteruan politik yang spekulatif dan dipastikan rakyat dirugikan.

Bagaimanapun kampanye sebagai media untuk mensosialisasikan platform partai tidaklah harus mengorbankan rakyat kecil, termasuk menggadaikan suara rakyat. Sikap kritis dan rasionalitas pemilih yang dibangun melalui pendidikan politik yang berkualitas akan meminimalisasi keculasan elite politik yang di legalisasi konstitusi.

Pemilu sebagai mekanisme dari proses demokrasi mengagendakan mencari kepemimpinan nasional secara selektif, yang memiliki kepedulian publik. Demokrasi yang memberi ruang untuk mendaur ulang kepemimpinan nasional menuntut lahirnya elite (wajah) baru yang memiliki etika, integritas, dan komitmen moral kerakyatan di tengah masyarakat komunal yang gamang politik.

Tanpa komitmen moral kerakyatan atau moral kebangsaan dikhawatirkan justru melahirkan konspirasi yang membiaskan kepentingan rakyat. Rakyat yang menyerahkan kedaulatannya melalui bilik suara akan menjadi gamang dan hilang kepercayaan dengan melihat cacat moral elite politik.

Sebab itu, pendidikan politik idealnya menjadikan pemilu kian berkualitas secara moral dengan bobot intelektualitas serta profesionalitas yang terpadukan.
(sumber : Lampung Post, 18 Februari 2009)

Terorisme: Antara Radikalisme Agama dan Politik

Diposting oleh Puji R. Soekarno / Category: , ,

Firdaus Muhammad, Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar
Lampung

Dentuman bom yang berkekuatan besar (high eksplosive) di depan Kedutaan
Besar Australia di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (9-9)
menelan ratusan korban. Tak pelak, peristiwa tersebut menghentak kesadaran
kita bahwa ancaman teroris berada di tengah-tengah aktivitas kita yang
melahirkan rasa tidak aman selalu menghantui. Kutukan dunia internasional
terhadap aksi teroris yang merenggut jiwa tak berdosa itu, makin menunjukkan
lemahnya kinerja aparat intelijen dan profesionalitas kepolisian kita dalam
menjinakkan terorisme di Tanah Air.
"Tragedi Kuningan" ini merupakan rangkaian sejumlah tindak kekerasan yang
dilakukan teroris makin mengancam keamanan menjelang pilpres 20 september
mendatang. Peristiwa "bom politik kekerasan" yang memalukan dan memilukan
bangsa di mata internasional ini ditengarai dilakukan kelompok jaringan
teroris pimpinan Dr. Azahari dan Noordin Moh. Top. Tokoh teroris asal
Malaysia yang diduga kuat terlibat sejumlah pengeboman di Tanah Air
masing-masing bom Bali, Hotel J.W. Marriott, dan Kuningan ini adalah
kelompok Islam radikal. Dr. Azahari adalah seorang mantan dosen Fakultas
Teknik dan Ilmu Geoinformasi Universitas Teknologi Malaysia, yang juga
tercatat peraih gelar Ph.D. dalam kajian model statistik di Reading
University Inggris. Aksi sistematis jaringan ini kembali menguatkan stigma
terorisme atas nama agama sebagai bentuk perlawanan atas keculasan politik
pemerintah dan imprealisme global.
Radikalisme Agama
Pelaku pengeboman kantor Dubes Australia yang ditujukan kepada Australia
itu, dispekulasi dari gerakan Islam garis keras sebagai jaringan yang
berafiliasi dengan kelompok Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang merupakan
jaringan terorisme internasional terbesar. Untuk melihat persoalan ini, kita
dapat mengurai teror dalam konteks lebih luas beserta agenda-agendanya untuk
memengaruhi kebijakan politik dunia yang hegemonik atas kelompok tertentu.
Dalam nalar ini, teror dibaca sebagai anomali dari agama sebab ajaran agama
tidak mengajarkan kekerasan memperjuangkan ideologinya. Karena itu, teror,
harus dibaca sebagai tindakan menimbulkan rasa tidak aman atau rasa takut
yang berlebihan dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan dan nilai-nilai
agama. Namun, aksi teror yang dilakukan kelompok garis keras di mana pun,
termasuk di Indonesia--yang merupakan negara penganut muslim terbesar di
dunia--dapat tumbuh sebagai reaksi dan aksi perlawanan atas imperialisme
barat terhadap dunia Islam, seperti invasi ke Irak.
Dalam sejarahnya, gerakan teroris tumbuh sebagai gerakan ancaman dunia
tercatat pascainvasi Rusia atas Afghanistan. Kelompok garis keras yang
didirikan Osama bin Laden seorang miliarder keturunan Arab Saudi. Osama bin
Laden rela menghabiskan hidupnya menjadi pimpinan jaringan teroris dunia
yang cukup ditakuti hingga detik ini, pada tahun 1989, ia mendirikan Al
Qaeda. Dalam perkembangannya, kekuatan dunia (barat) tidak mampu menelusuk
dalam membongkar jaringannya. Ketidakmampuan menelisik anatomi gerakan
global mereka makin menguatkan jaringan teroris ini untuk melumpuhkan
kepentingan barat (AS) atas dunia Islam. Perlawanan tak mengenal lelah dalam
melawan imperialisme barat ini dibangun melalui jaringan teroris yang
melahirkan ketakutan dan ancaman dunia.
Jika benar tindakan teroris selalu mengatasnamakan agama, terjadi ironi
agama yang berlebihan, sebab agama mana pun secara ideologis dan moral tidak
membenarkan tindak kekerasan. Terorisme, dalam konteks ini, dibaca sebagai
persoalan moral yang sulit sebagai tindakan simbolis yang dirancang dengan
skenario cukup canggih dan terstruktur, untuk memengaruhi kebijakan dan
tingkah laku politik penguasa dengan cara kekerasan yang sering dibenturkan
dengan kesucian sebuah agama.
Tindak kekerasan atas nama agama menjadi bagian wacana politik yang tumbuh
dari akar fundamentalisme. Fundamentalisme tidak tumbuh dari akar ideologi.
Munculnya gerakan tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme
global. Gerakan-gerakan antiglobalisasi di kalangan kelompok garis keras
dari kelompok beragama ini menyiratkan perlawanan laten mereka terhadap
kebijakan politik luar negeri negara-negara barat terhadap dunia Islam,
sekaligus perang terhadap kapitalisme Barat.
Hal itu kemudian melahirkan gerakan militansi berlebihan sehingga dalam
melihat sesuatu selalu hitam putih yang mengklaim kebenaran (truth claim).
Karakter gerakannya sangat brutal dan tidak menghargai nilai-nilai
kemanusiaan secara universal. Mereka tidak mengenal kompromi, toleransi, dan
condong tertutup dengan komunitas di luar kelompoknya, serta sulit menerima
pluralitas bahkan kelompok yang tidak sepaham dengan ideologi gerakannya
adalah musuh dan karena itu mereka menghalalkan tindak kekerasan. Artinya,
jihad digiring masuk dalam wilayah politik untuk melakukan perlawanan dengan
dalih perang suci (holy war).
Satu hal yang paling membahayakan masa depan bangsa ini adalah ancaman
gerakan teroris oleh kelompok-kelompok radikal yang "diperalat" kekuasaan.
Jika asumsi ini benar, belitan masalah tak kunjung teruai sebab skenario
memainkan emosi mereka akan memperpanjang usia konflik dan disintegrasi.
Penciptaan ruang radikalisme oleh (aparat) negara melalui gerakan organisasi
garis keras dalam mengekpresikan diri menjadi ancaman "dalam selimut" negara
sendiri. Lebih ironis, sebagaimana pernah disinyalir (alm) Munir, S.H., jika
kekuatan ini justru dijadikan "alat" (mudah-mudahan tidak) dalam
memperpanjang lajur kekerasan sistematis tadi, dapat saja menimbulkan
radikalisme politik.
Skenario dan Radikalisme Politik
Serangan bom mobil berdarah di luar Kedutaan Besar Australia sebagai
tindakan biadab yang merupakan skenario menciptakan rasa tidak aman dan
ancaman bagi masyarakat luas. Meskipun bom ini ditujukan ke Kedutaan
Australia, implikasi politiknya cukup besar, kaitannya dengan pencitraan
pemerintah. Peristiwa ini tak pelak menjatuhkan kredibilitas Indonesia di
mata dunia dalam melawan teroriasme, bahkan melahirkan stigma Indonesia
sarang teroris. Lebih dramatis lagi, aksi bom bunuh diri ini terjadinya di
tengah kesibukan kepolisian mengendus keberadaan kelompok Dr. Azahari,
termasuk dengan mengajak Ali Imron "jalan-jalan" di salah satu kafe sebagai
pancingan. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Implikasi lain dari
kejadian ini adalah tumbuhnya rasa tidak aman dan kepanikan menjelang
putaran pilpres kedua yang tinggal menghitung hari. Resistensi akibat
peristiwa tragedi kemanusiaan menjelang pilpres putaran kedua membuahkan
resistensi tindak kekerasan menjadi hantu ancaman global yang setiap saat
dapat memakan korban jiwa dari anak-anak bangsa yang tidak berdosa. Karena
itu, aksi tersebut dilakukan kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab
untuk mengacaukan kondisi dan instabilitas perpolitikan.
Kaitan hal ini, penulis mencoba melihat peristiwa ini sebagai bagian dari
skenario dan rekayasa politik, guna melahirkan kepanikan dan kegamangan
politik secara berlebihan. Asumsinya, segala keputusan politik sangat
tergantung dari kultur dan nilai politik penguasa. Dalam ini, terdapat dua
fenomena problematik yang menarik dicermati yakni; "skenario kecil dan
besar".
Kelompok garis keras dan negara memiliki posisi lebih bersifat subordinatif
ketimbang mutualis, tidak heran jika kekuasaan memainkan atau mengkreasi
gerakan radikal dengan "memberi ruang" dalam sekat-sekat skenario yang
membelit. Jika demikian adanya, berarti kita memang berada dalam belitan
skenario kecil dan besar sekaligus tanpa disadari. Penciptaan "skenario
kecil" ditandai perilaku elite politik yang konspiratif selalu mengundang
konflik dengan melahirkan kegamangan yang cukup dilematis bagi masyarakat.
Perseteruan elite politik untuk kepentingan politik sesat yang cukup
pragmatis. Akibatnya, terjadi polarisasi hingga pada tataran grass root yang
menelantarkan kepentingan politik kebangsaaan secara universal. Dalam
proses-proses yang disesaki dengan deal-deal elite tersebut menciptakan suhu
makin memanas dan mengabaikan agenda bangsa yang sesungguhnya, menciptakan
keamanan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi yang demikian, mereka
melupakan betapa rapuhnya simpul-simpul integrasi kebangsaan dan
nasionalisme dalam membendung kekuatan besar sebagai musuh laten yang
mengancam eksisitensi bangsa besar ini, bernama imprealisme global.
"Skenario kecil" berupa perebutan kekuasaan yang dimainkan elite
melengahkannya dengan "skenario besar" yang dijalankan imperialisme barat
menjadi ancaman bagi integrasi bangsa dalam rajutan nasionalisme kita.
Jika asumsi ini, coba dirajut relevansinya, dapat dibaca reaksi Australia
melalui John Hower dan Alexander Downer masing-masing perdana menteri dan
menteri luar negeri Australia yang mengutuk keras aksi bom "tragedi
Kuningan" itu sebagai bagian skenario besar itu. Indikasinya, tampak dari
upaya mereka mencoba membangun opini dunia bahwa bom tersebut bukan
intimidasi terhadap negaranya. Memburuknya hubungan Indonesia dan Australia
pascajajak pendapat di Timor Timur dan bom Bali dan Kuningan menjadi makin
meruncing, menandai skenario asing mengobok-obok integritas nasionalisme
kebangsaan kita.
Atas dasar ini, ditengarai akan melahirkan skenario besar yang mengancam
nasib bangsa di tengah sibuknya elite politik dengan perebutan kekuasaan dan
melupakan nasib bangsa ini menjadi sulit mandiri dari jeratan hegemoni dan
imperialisme global melalui Australia yang menjadi perpanjangan tangan
negara adidaya Amerika Serikat. Mungkin saya dapat dianggap terjebak dalam
sebuah kekhawatiran yang berlebihan, tapi jika kita sekali lagi mencoba
mencermati skenario besar ini. Tentu tidak berlebihan jika kemudian
terhentak panik akan masa depan bangsa ini yang berada dalam ancaman
imperialisme barat yang sistematik.
Hal inilah yang tampaknya terabaikan akibat pergulatan politik dalam
skenario kecil yang mengedepankan kepentingan personal dan kelompok dengan
mengabaikan kepentingan bangsa yang cukup pelik. Jika hal ini tidak kita
sadari, intimadasi kekerasan akan menjadi bagian perilaku anak bangsa yang
mengorbankan sesamanya.
Perilaku elite politik yang berkompetisi meraih kursi kekuasaan an sich
dengan cara masing-masing, berakibat terlupakannya agenda sesungguhnya
bangsa ini berhadapan "musuh besar" yakni; sulitnya keluar dari jeratan
hegemoni kolonialisme barat. Sekiranya elite tidak menyadari hal itu, sulit
menjinakkan terorisme yang tumbuh dari akar perlawanan terhadap imprealiseme
global itu dengan tindak kekerasan mereka yang nyatanya merugikan kita
semua. Kiranya hal ini menjadi kesadaran kolektif anak bangsa ini untuk
melawan terorisme dengan "jihad kemanusiaan" dengan menyemai perdamaian.
Semoga! Wallahu a'lam.

Lampung Post, 17 Septmeber 2004

Pram, Sastra Kiri dan Pembebasan

Diposting oleh Puji R. Soekarno / Category: , ,

Esai Firdaus Muhammad
Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar Lampung.

"KITA semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hlm. 325)

Pramoedya Ananta Toer (Pram), maestro sastra berideologi kiri, 6 Februari lalu genap berusia 80 tahun, usia cukup keramat. Ketajaman mata batin mengiringi energi kreatifnya hampir tak tertandingi sehingga dinobatkan sebagai empu sastra. Karya-karyanya cukup berenergi, meski dibungkam gagasannya selalu hidup dan banyak mengilhami aktivis-aktivis pergerakan kampus. Hal itu bukan sebuah kebetulan, sebab Pram memiliki kecintaan pada rakyat dan pada angkatan muda yang selalu tergambar dalam karyanya. Kecuali itu, kekuatan kepenulisan Pram tercermin pada kemampuannya memadukan antara sastra (fiksi) dan sejarah (realitas), tepatnya, ia mampu mengelaborasi, bahkan 'menghidupkan' tokoh atau pelaku sejarah dalam jeda waktu tertentu dalam sebuah teks fiksi. Kepiawaiannya menjinakkan teks realitas dan teks fiksi dirajut sedemikian eloknya sehingga sebuah realitas sejarah dapat dibaca dalam fiksi yang kuat.

Syahdan, baik juga menyatakan meski terkesan klise, bahwa Pram berada pada garda terdepan dalam lanskap penulis sastra Indonesia yang memiliki komitmen kuat atas masa depan bangsanya. Komitmen sosial yang demikian kuat itu mewarnai pilihan gaya sastranya yang beraliran kiri. Dalam ranah ini, ia kadang menampilkan tokoh dengan karakter antagonis-protagonis sehingga fiksi sebagai media eksplorasinya mampu membentuk persepsi, bahkan menghipnotis pembacanya untuk mengarungi sejarah Indonesia yang sesungguhnya.

Proses kreatifnya terekam dalam Menggelinding I yang merupakan buah pemikirannya ketika muda sebagai jejak proses panjang keberkaryaannya dalam rentang 1947--1956 dan masih suci dari beban ideologi tertentu. Stigmatisasi kiri kemudian ditahbiskan kepadanya pascaketerlibatannya di Lekra. Karya-karya Pram berhaluan revolusioner dan bersemangat dilahirkannya saat aktif sebagai seniman-sastrawan kiri dan bergeliat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Dalam komunitas itu terlahir karyanya "Suatu Peristiwa di Banten Selatan" dengan menarik garis 'realisme sosialis' dan propaganda sekaligus. Pilihan berhaluan kiri (baca: anti-Orde Baru atau anti-Soeharto) itu pula yang menjebloskannya ke bui tanpa pengadilan tidak kurang dari 18 tahun dan diasingkan ke pulau Buru, Maluku. Hal itu dialaminya sebagai rekayasa politik rezim yang dilawannya. Di sana ia tetap berkarya yang sebagian karyanya itu hampir mencerminkan jalan hidupnya, Pram memang meyakini dalam konteks tertentu, karya sastra kadang juga menjadi biografi penulisnya. Secara tegas dalam pidato penerimaan hadiah Ramon Magsasay 1995, Pram melukiskan bukanlah suatu kebetulan bila penulis, tidak terkecuali dirinya, disebut oposan, pemberontak, bahkan revolusioner. Penulis sastra selalu membuat reevaluasi dan evaluasi di setiap bidang kehidupan, meski dilakukan dengan kebisuan teks saat berhadapan dengan realitas kekuasaan yang hegemonik dan otoriter.

Karya-karya fiksi Pram sarat dengan seruan pembebasan dengan dimensi sejarah yang menggugah, seperti dalam "Arus Balik", "Arok Dedes", dan "Mangir", membuktikannnya sebagai pembaca dan penafsir sejarah yang tekun dan setia disertai kemahiran bertutur kata yang lihai, tetapi fiksinya berhasil menyingkap semangat dari lembaran sejarah realitas sehingga racikan semangat inilah yang membuat sajian fiksinya melahirkan realitas baru, realitas susastra yang dilahirkannya dari rahim realitas sejarah yang autentik. Karenanya, kritikus sastra Keith Foulcher (1993:36) yang juga dilansir Ihsan Ali Fauzie, meyakininya memiliki niatan didaktis kuat, karena karya-karya Pram memiliki pandangan tertentu tentang sejarah Indonesia di luar yang lazim, yakni memiliki relevansi kuat dengan sejarah Indonesia modern maupun sebagai catatan sejarah masa lampau. Hal itu bukanlah sesuatu yang ganjil, sebab Pram terobsesi menulis sejarah dalam bentuk novel. Tampaknya, kesan itu didapatkan dalam karyanya, "Jejak Langkah".

Pram sebagai anak zaman penindasan melakoni dunia sastra secara sarkastis sepanjang Orde Baru berkuasa, rezim yang membungkamnya sekaligus membesarkan namanya sebagai sayap perlawanan dengan ideologi kirinya. Ia dipenjara tanpa diadili dan diasingkan selama puluhan tahun. Tak pelak di balik jeruji itulah Pram melanjutkan proses kreatifnya. Saat mendekam dibui ia melahirkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dan tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis di Pulau Buru. Tindakan Pram menulis di Pulau Buru ini mirip dengan yang dilakukan pengarang Marxis Italia, Antonio Gramsci, yang dibui pada 1930-an.

Namun pascatumbangnya Orde Baru, Pram menghirup udara kebebasan, sang maestro pun turun gunung. Era reformasi menjadi era pembebasan bagi Pram, karyanya dipublikasikan. Buku-buku karya tokoh Lekra ini, kini dengan gampang dapat ditemukan. Misalnya, kwartet roman Pulau Buru, seperti Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Juga, buku-bukunya yang lain, seperti Arus Balik (1995), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), Sang Pemula (1985), dan Gadis Pantai (1987). Buku-buku karya Pram itu ada yang masih baru, ada juga yang bekas. Hasta Mitra, sebagai penerbitnya, sengaja mengangkat sastrawan sosialis itu dengan menerbitkan ulang buku-bukunya, pada sampul tiap edisinya tertulis Edisi Pembebasan. Karya-karya lama Pram, seperti Di Tepi Kali Bekasi (1947), Perburuan (1950), Keluarga Gerilya (1950), Percikan Revolusi (1950), Subuh (1950), Bukan Pasar Malam (1951), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Cerita dari Blora (1952), dan Korupsi (1954), juga dengan gampang ditemukan cetak ulangnya.

Padahal, buku-buku Pram, terutama roman-roman Pulau Buru-nya dulu dianggap berbahaya, dan yang menyimpan serta mengedarkannya bisa ditangkap. Misalnya, kasus yang menimpa tiga aktivis Yogyakarta, Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, pada 1989. Ketiganya ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun hanya karena kedapatan membawa buku Rumah Kaca. Keadaan itu kini agaknya sudah berbalik. Jangankan novel-novel Pram, buku-buku ajaran komunis dan marxisme saja kini bebas beredar. Bukan hanya di toko-toko kecil atau pasar-pasar buku bekas. Toko-toko buku besar pun sering menjualnya. Inilah masa pembebasan bagi karya-karya Pram yang dibungkam sekian lama, kini Pram hidup di ruang bebas dengan karya yang menyerukan pembebasan sejati.

Gayung bersambut, generasi Pramania menyoalisasikan ide-ide pembebasan Pram. Sebut misalnya, Pramoedya Institute sebagai lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan. Didirikan di Bandung, 24 Oktober 2003. Lembaga ini terbentuk, tergerak, serta bermuara demi dan hanya pada cita-cita kebudayaan semata. Penggunaan nama Pramoedya sebagai lembaga tidak menjadikan Pramoedya Institute bertujuan mengkultuskan sastrawan Pramoedya Ananta Toer secara individu. Tetapi patut dipermaklumkan, Pram tak pernah mengindahkan pujian dan nama baik sehingga ia tidak pernah terbebani dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya tanpa takut dicela sekalipun. Pram memang penulis sejati sebagai seorang berpikiran mandiri, individualis, dan sulit beradaptasi dengan dunia baru, ia hanya pengarang yang sunyi dan karenanya ia terbebaskan dan membebaskan.
(Pernah dimuat di Lampung Post, 13 Februari 2005)