Klik Dapet Duit

Menipisnya Etika dan Moralitas Politik

Diposting oleh Firdaus Muhammad / Category: , ,

Firdaus Muhammad

Koordinator Afkar Circle, Dosen Komunikasi Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan, Lampung

Kompetisi antarelite politik belakangan ditengarai cenderung mengabaikan etika dan estetika politik sehingga bermuara pada menipisnya moralitas dan norma kesantunan, yang kemudian melahirkan kegamangan, kebingungan hingga apatisme politik. Pesan-pesan iklan politik di media massa, misalnya, saling menuding antarpartai dengan menjatuhkan citra partai lain dan mengklaim diri sebagai partai terbaik.

Ihwal iklan Partai Demokrat dan Partai Golkar sering menjadi jawaban iklan politik PDI-P atau sebaliknya, sebagai salah satu buktinya. Iklan PKS oleh sebagian pihak dilihat mengadu domba antarpartai, meski niatya justru hendak rekonsiliasi politik antarelite.

Perilaku elite politik tersebut dikhawatirkan bukan hanya perseteruan antarpartai dan elite politik an sich, melainkan merembes ke grass root. Selain perseteruan iklan di media massa, juga perusakan sejumlah atribut partai dan gambar calon legislatif, juga menjadi indikasi menipisnya kesantunan politik.

Mengurai sejumlah problem di tengah realitas politik itu meniscayakan logika yang dapat menjernihkan sejumput persoalan bangsa pada tahun politik 2009 ini. Salah satunya dengan mengembalikan norma kesantunan, etika, estetika, dan moralitas politik yang sejatinya diawali dari elite politik sehingga tercipta kedamaian publik.

Kedamaian itu diharapkan menapasi ruh demokrasi sebagai penentu nasib negeri ke depan. Optimisme lahirnya pemimpin dan kepemimpinan nasional kemudian dihadapkan pada kedewasaan berpolitik di kalangan elite.

Sebab itu, kedewasaan politik menjadi keharusan dalam menghadapi realitas politik yang diwarnai kompetisi di tengah konstelasi politik, terutama dengan munculnya fenomena saling mencaci antarelite bahkan perseteruan yang melibatkan personal elite tertentu. Ihwal ketangguhan pasangan SBY-JK dipersoalkan hingga merembes ke pada kedua partai yang mengusung kedua tokoh nasional tersebut, Partai Golkar, dan Partai Demokrat.

Mempertebal Moralitas Politik

Kegamangan di tengah hiruk-pikuk kampanye dan konstelasi politik yang dinilai tidak jelas arah, enigmatik ini, meniscayakan kesantunan berpolitik dalam bingkai etika (fatsun) politik. Etika politik menjadi penting diusung dalam kampanye Pemilu 2009 setelah ditengarai banyaknya "penumpang politik" yang tidak memiliki kendaraan politik yang jelas sehingga mereka muncul sebagai makelar-makelar politik yang nantinya memuncahkan kegamangan baru.

Kegamangan politik yang enigmatik dalam kampanye makin jelas. Perseteruan elite politik inipun melahirkan kegamangan, betapa komunikasi elite politik tiba-tiba tersumbat. Jika tidak diminimalisasi para elite politik sendiri, tidak menutup kemungkinan akan merambah ke konflik arus bawah dan mencederai demokrasi yang sementara kita bangun.

Kemampuan elite politik (parpol) mengelola konflik menjadi suatu keharusan sehingga pesta demokrasi yang menjadi hajatan nasional ini tidak memakan ongkos yang terlalu mahal. Pemilu secara damai adalah alternatif untuk menyelamatkan demokrasi melalui proses-proses yang normal.

Kampanye merupakan awal proses mencari pemimpin yang berbobot, memiliki integritas dan komitmen moral. Dalam konteks inilah, etika politik perlu menjadi kesadaran kolektif sebagai bagian tanggung jawab menyelamatkan bangsa dengan meracik kedamaian dan kebersamaan dengan mempertebal etika dan moralitas politik.

Kesuksesan pemilu ditentukan pada kualitas kampanye yang mencerminkan tingkat kesadaran elite politik dan juga rasionalitas rakyat dalam menentukan pilihannya sesuai dengan nurani. Menciptakan pemilu yang damai yang diawali dengan mewujudkan kampanye yang damai pula merupakan rangkaian tanggung jawab moral.

Ingar-bingar dan hiruk-pikuk pesta demokrasi ini yang condong meradang, jika tidak disemai dengan moralitas, niscaya melahirkan konflik. Komitmen moral sebagai bentuk artikulasi komitmen dan integritas kebangsaan para elite politik ini menjadi satu-satunya harapan guna membangun masa depan bangsa yang kian terpuruk, baik dalam hal perekonomian maupun pada moralitas yang dekaden dapat diatasi secara bertahap.

Untuk menyelamatkan demokrasi, tentu jika merujuk pada kaidah demokrasi itu sendiri, dalam sebuah pertarungan (politik) harus ada yang jadi pemenang dan sebaliknya juga ada yang tereliminasi. Persoalan umumnya muncul ketika pemenang larut dalam euforia, sedangkan yang kalah tidak menerima kekalahannya sehingga tidak jarang terjadi konflik atau peseteruan politik yang spekulatif dan dipastikan rakyat dirugikan.

Bagaimanapun kampanye sebagai media untuk mensosialisasikan platform partai tidaklah harus mengorbankan rakyat kecil, termasuk menggadaikan suara rakyat. Sikap kritis dan rasionalitas pemilih yang dibangun melalui pendidikan politik yang berkualitas akan meminimalisasi keculasan elite politik yang di legalisasi konstitusi.

Pemilu sebagai mekanisme dari proses demokrasi mengagendakan mencari kepemimpinan nasional secara selektif, yang memiliki kepedulian publik. Demokrasi yang memberi ruang untuk mendaur ulang kepemimpinan nasional menuntut lahirnya elite (wajah) baru yang memiliki etika, integritas, dan komitmen moral kerakyatan di tengah masyarakat komunal yang gamang politik.

Tanpa komitmen moral kerakyatan atau moral kebangsaan dikhawatirkan justru melahirkan konspirasi yang membiaskan kepentingan rakyat. Rakyat yang menyerahkan kedaulatannya melalui bilik suara akan menjadi gamang dan hilang kepercayaan dengan melihat cacat moral elite politik.

Sebab itu, pendidikan politik idealnya menjadikan pemilu kian berkualitas secara moral dengan bobot intelektualitas serta profesionalitas yang terpadukan.
(sumber : Lampung Post, 18 Februari 2009)

0 komentar:

Posting Komentar