Klik Dapet Duit

Terorisme: Antara Radikalisme Agama dan Politik

Diposting oleh Puji R. Soekarno / Category: , ,

Firdaus Muhammad, Koordinator Lingkar Kajian Komunitas AFKAR Circle Bandar
Lampung

Dentuman bom yang berkekuatan besar (high eksplosive) di depan Kedutaan
Besar Australia di Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta, Kamis (9-9)
menelan ratusan korban. Tak pelak, peristiwa tersebut menghentak kesadaran
kita bahwa ancaman teroris berada di tengah-tengah aktivitas kita yang
melahirkan rasa tidak aman selalu menghantui. Kutukan dunia internasional
terhadap aksi teroris yang merenggut jiwa tak berdosa itu, makin menunjukkan
lemahnya kinerja aparat intelijen dan profesionalitas kepolisian kita dalam
menjinakkan terorisme di Tanah Air.
"Tragedi Kuningan" ini merupakan rangkaian sejumlah tindak kekerasan yang
dilakukan teroris makin mengancam keamanan menjelang pilpres 20 september
mendatang. Peristiwa "bom politik kekerasan" yang memalukan dan memilukan
bangsa di mata internasional ini ditengarai dilakukan kelompok jaringan
teroris pimpinan Dr. Azahari dan Noordin Moh. Top. Tokoh teroris asal
Malaysia yang diduga kuat terlibat sejumlah pengeboman di Tanah Air
masing-masing bom Bali, Hotel J.W. Marriott, dan Kuningan ini adalah
kelompok Islam radikal. Dr. Azahari adalah seorang mantan dosen Fakultas
Teknik dan Ilmu Geoinformasi Universitas Teknologi Malaysia, yang juga
tercatat peraih gelar Ph.D. dalam kajian model statistik di Reading
University Inggris. Aksi sistematis jaringan ini kembali menguatkan stigma
terorisme atas nama agama sebagai bentuk perlawanan atas keculasan politik
pemerintah dan imprealisme global.
Radikalisme Agama
Pelaku pengeboman kantor Dubes Australia yang ditujukan kepada Australia
itu, dispekulasi dari gerakan Islam garis keras sebagai jaringan yang
berafiliasi dengan kelompok Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang merupakan
jaringan terorisme internasional terbesar. Untuk melihat persoalan ini, kita
dapat mengurai teror dalam konteks lebih luas beserta agenda-agendanya untuk
memengaruhi kebijakan politik dunia yang hegemonik atas kelompok tertentu.
Dalam nalar ini, teror dibaca sebagai anomali dari agama sebab ajaran agama
tidak mengajarkan kekerasan memperjuangkan ideologinya. Karena itu, teror,
harus dibaca sebagai tindakan menimbulkan rasa tidak aman atau rasa takut
yang berlebihan dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan dan nilai-nilai
agama. Namun, aksi teror yang dilakukan kelompok garis keras di mana pun,
termasuk di Indonesia--yang merupakan negara penganut muslim terbesar di
dunia--dapat tumbuh sebagai reaksi dan aksi perlawanan atas imperialisme
barat terhadap dunia Islam, seperti invasi ke Irak.
Dalam sejarahnya, gerakan teroris tumbuh sebagai gerakan ancaman dunia
tercatat pascainvasi Rusia atas Afghanistan. Kelompok garis keras yang
didirikan Osama bin Laden seorang miliarder keturunan Arab Saudi. Osama bin
Laden rela menghabiskan hidupnya menjadi pimpinan jaringan teroris dunia
yang cukup ditakuti hingga detik ini, pada tahun 1989, ia mendirikan Al
Qaeda. Dalam perkembangannya, kekuatan dunia (barat) tidak mampu menelusuk
dalam membongkar jaringannya. Ketidakmampuan menelisik anatomi gerakan
global mereka makin menguatkan jaringan teroris ini untuk melumpuhkan
kepentingan barat (AS) atas dunia Islam. Perlawanan tak mengenal lelah dalam
melawan imperialisme barat ini dibangun melalui jaringan teroris yang
melahirkan ketakutan dan ancaman dunia.
Jika benar tindakan teroris selalu mengatasnamakan agama, terjadi ironi
agama yang berlebihan, sebab agama mana pun secara ideologis dan moral tidak
membenarkan tindak kekerasan. Terorisme, dalam konteks ini, dibaca sebagai
persoalan moral yang sulit sebagai tindakan simbolis yang dirancang dengan
skenario cukup canggih dan terstruktur, untuk memengaruhi kebijakan dan
tingkah laku politik penguasa dengan cara kekerasan yang sering dibenturkan
dengan kesucian sebuah agama.
Tindak kekerasan atas nama agama menjadi bagian wacana politik yang tumbuh
dari akar fundamentalisme. Fundamentalisme tidak tumbuh dari akar ideologi.
Munculnya gerakan tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme
global. Gerakan-gerakan antiglobalisasi di kalangan kelompok garis keras
dari kelompok beragama ini menyiratkan perlawanan laten mereka terhadap
kebijakan politik luar negeri negara-negara barat terhadap dunia Islam,
sekaligus perang terhadap kapitalisme Barat.
Hal itu kemudian melahirkan gerakan militansi berlebihan sehingga dalam
melihat sesuatu selalu hitam putih yang mengklaim kebenaran (truth claim).
Karakter gerakannya sangat brutal dan tidak menghargai nilai-nilai
kemanusiaan secara universal. Mereka tidak mengenal kompromi, toleransi, dan
condong tertutup dengan komunitas di luar kelompoknya, serta sulit menerima
pluralitas bahkan kelompok yang tidak sepaham dengan ideologi gerakannya
adalah musuh dan karena itu mereka menghalalkan tindak kekerasan. Artinya,
jihad digiring masuk dalam wilayah politik untuk melakukan perlawanan dengan
dalih perang suci (holy war).
Satu hal yang paling membahayakan masa depan bangsa ini adalah ancaman
gerakan teroris oleh kelompok-kelompok radikal yang "diperalat" kekuasaan.
Jika asumsi ini benar, belitan masalah tak kunjung teruai sebab skenario
memainkan emosi mereka akan memperpanjang usia konflik dan disintegrasi.
Penciptaan ruang radikalisme oleh (aparat) negara melalui gerakan organisasi
garis keras dalam mengekpresikan diri menjadi ancaman "dalam selimut" negara
sendiri. Lebih ironis, sebagaimana pernah disinyalir (alm) Munir, S.H., jika
kekuatan ini justru dijadikan "alat" (mudah-mudahan tidak) dalam
memperpanjang lajur kekerasan sistematis tadi, dapat saja menimbulkan
radikalisme politik.
Skenario dan Radikalisme Politik
Serangan bom mobil berdarah di luar Kedutaan Besar Australia sebagai
tindakan biadab yang merupakan skenario menciptakan rasa tidak aman dan
ancaman bagi masyarakat luas. Meskipun bom ini ditujukan ke Kedutaan
Australia, implikasi politiknya cukup besar, kaitannya dengan pencitraan
pemerintah. Peristiwa ini tak pelak menjatuhkan kredibilitas Indonesia di
mata dunia dalam melawan teroriasme, bahkan melahirkan stigma Indonesia
sarang teroris. Lebih dramatis lagi, aksi bom bunuh diri ini terjadinya di
tengah kesibukan kepolisian mengendus keberadaan kelompok Dr. Azahari,
termasuk dengan mengajak Ali Imron "jalan-jalan" di salah satu kafe sebagai
pancingan. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Implikasi lain dari
kejadian ini adalah tumbuhnya rasa tidak aman dan kepanikan menjelang
putaran pilpres kedua yang tinggal menghitung hari. Resistensi akibat
peristiwa tragedi kemanusiaan menjelang pilpres putaran kedua membuahkan
resistensi tindak kekerasan menjadi hantu ancaman global yang setiap saat
dapat memakan korban jiwa dari anak-anak bangsa yang tidak berdosa. Karena
itu, aksi tersebut dilakukan kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab
untuk mengacaukan kondisi dan instabilitas perpolitikan.
Kaitan hal ini, penulis mencoba melihat peristiwa ini sebagai bagian dari
skenario dan rekayasa politik, guna melahirkan kepanikan dan kegamangan
politik secara berlebihan. Asumsinya, segala keputusan politik sangat
tergantung dari kultur dan nilai politik penguasa. Dalam ini, terdapat dua
fenomena problematik yang menarik dicermati yakni; "skenario kecil dan
besar".
Kelompok garis keras dan negara memiliki posisi lebih bersifat subordinatif
ketimbang mutualis, tidak heran jika kekuasaan memainkan atau mengkreasi
gerakan radikal dengan "memberi ruang" dalam sekat-sekat skenario yang
membelit. Jika demikian adanya, berarti kita memang berada dalam belitan
skenario kecil dan besar sekaligus tanpa disadari. Penciptaan "skenario
kecil" ditandai perilaku elite politik yang konspiratif selalu mengundang
konflik dengan melahirkan kegamangan yang cukup dilematis bagi masyarakat.
Perseteruan elite politik untuk kepentingan politik sesat yang cukup
pragmatis. Akibatnya, terjadi polarisasi hingga pada tataran grass root yang
menelantarkan kepentingan politik kebangsaaan secara universal. Dalam
proses-proses yang disesaki dengan deal-deal elite tersebut menciptakan suhu
makin memanas dan mengabaikan agenda bangsa yang sesungguhnya, menciptakan
keamanan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi yang demikian, mereka
melupakan betapa rapuhnya simpul-simpul integrasi kebangsaan dan
nasionalisme dalam membendung kekuatan besar sebagai musuh laten yang
mengancam eksisitensi bangsa besar ini, bernama imprealisme global.
"Skenario kecil" berupa perebutan kekuasaan yang dimainkan elite
melengahkannya dengan "skenario besar" yang dijalankan imperialisme barat
menjadi ancaman bagi integrasi bangsa dalam rajutan nasionalisme kita.
Jika asumsi ini, coba dirajut relevansinya, dapat dibaca reaksi Australia
melalui John Hower dan Alexander Downer masing-masing perdana menteri dan
menteri luar negeri Australia yang mengutuk keras aksi bom "tragedi
Kuningan" itu sebagai bagian skenario besar itu. Indikasinya, tampak dari
upaya mereka mencoba membangun opini dunia bahwa bom tersebut bukan
intimidasi terhadap negaranya. Memburuknya hubungan Indonesia dan Australia
pascajajak pendapat di Timor Timur dan bom Bali dan Kuningan menjadi makin
meruncing, menandai skenario asing mengobok-obok integritas nasionalisme
kebangsaan kita.
Atas dasar ini, ditengarai akan melahirkan skenario besar yang mengancam
nasib bangsa di tengah sibuknya elite politik dengan perebutan kekuasaan dan
melupakan nasib bangsa ini menjadi sulit mandiri dari jeratan hegemoni dan
imperialisme global melalui Australia yang menjadi perpanjangan tangan
negara adidaya Amerika Serikat. Mungkin saya dapat dianggap terjebak dalam
sebuah kekhawatiran yang berlebihan, tapi jika kita sekali lagi mencoba
mencermati skenario besar ini. Tentu tidak berlebihan jika kemudian
terhentak panik akan masa depan bangsa ini yang berada dalam ancaman
imperialisme barat yang sistematik.
Hal inilah yang tampaknya terabaikan akibat pergulatan politik dalam
skenario kecil yang mengedepankan kepentingan personal dan kelompok dengan
mengabaikan kepentingan bangsa yang cukup pelik. Jika hal ini tidak kita
sadari, intimadasi kekerasan akan menjadi bagian perilaku anak bangsa yang
mengorbankan sesamanya.
Perilaku elite politik yang berkompetisi meraih kursi kekuasaan an sich
dengan cara masing-masing, berakibat terlupakannya agenda sesungguhnya
bangsa ini berhadapan "musuh besar" yakni; sulitnya keluar dari jeratan
hegemoni kolonialisme barat. Sekiranya elite tidak menyadari hal itu, sulit
menjinakkan terorisme yang tumbuh dari akar perlawanan terhadap imprealiseme
global itu dengan tindak kekerasan mereka yang nyatanya merugikan kita
semua. Kiranya hal ini menjadi kesadaran kolektif anak bangsa ini untuk
melawan terorisme dengan "jihad kemanusiaan" dengan menyemai perdamaian.
Semoga! Wallahu a'lam.

Lampung Post, 17 Septmeber 2004

0 komentar:

Posting Komentar